Apakah menurut Anda berharap adalah sesuatu yang mudah? Mungkin lebih banyak orang yang menjawab ‘tidak’. Manusia berharap apa yang kita inginkan akan terjadi. Namun, kenyataan sering berkata lain. Itulah mengapa banyak orang kecewa. Bahkan, banyak yang tidak mau berharap terlalu tinggi agar tidak perlu mengalami kekecewaan.
Jawaban yang Tidak Sesuai Keinginan

Kekecewaan sering terjadi karena kita tidak mendapatkan apa yang kita harapkan. Atau bahkan seringkali kita menerima, tetapi tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Ada anak yang kecewa karena tidak memenangkan sebuah kompetisi. Tetapi, ada juga yang kecewa karena dia hanya mendapatkan juara kedua.
Ada sebuah cerita yang cukup menggelitik. Suatu hari, anak dari seorang miliarder meminta mobil sebagai hadiah ulang tahunnya. “Tak masalah,” ujar sang ayah. Di hari ulang tahunnya, sebuah mobil baru terparkir rapi di pekarangan rumah.
Si anak melompat keluar untuk menyambut mobil barunya. Namun, apa yang terjadi? Dia kecewa, bahkan sampai menitikkan air mata.
Dengan bingung si ayah bertanya, apa yang salah? Si anak menjawab lirih, “Ayah, saya mau BMW seri terbaru. Mengapa ayah membeli seri yang ini?”
Kisah ini mungkin terdengar ekstrem bagi kita. Tetapi, coba kita berefleksi sedikit. Apakah kita seringkali bersikap seperti itu ketika kita berharap sesuatu dari Tuhan? Pernahkah kita merasa kecewa karena jawaban Tuhan tidak persis seperti yang kita inginkan?
Keinginan Habakuk Vs. Kehendak Tuhan

Nabi Habakuk adalah seorang nabi yang hidup di masa-masa akhir Kerajaan Yehuda. Ini adalah masa-masa yang sangat genting. Keadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Manusia menindas satu sama lain dan Tuhan seolah diam.
Dalam keadaan seperti itu, tentu wajar jika Habakuk mengeluh kepada Tuhan.
Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: ”Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? – Habakuk 1:2
Namun, apa jawab Tuhan?
Sebab, sesungguhnya, Akulah yang membangkitkan orang Kasdim, bangsa yang garang dan tangkas itu, yang melintasi lintang bujur bumi untuk menduduki tempat kediaman, yang bukan kepunyaan mereka. – Habakuk 1:6
Bukannya menjanjikan pertolongan, Tuhan malah berfirman bahwa ada bangsa lain yang akan menduduki Yehuda. Orang Kasdim di sini adalah bangsa Babel yang sudah terkenal kekejaman dan kekuatan militernya. Jawaban macam ini tentu tidak masuk di akal. Sudah terjepit di rumah sendiri, sekarang akan ada penyerbu dari tanah lain?
Tentunya bukan ini jawaban yang diharapkan Habakuk. Bayangkan jika kita yang berada di posisinya! Akan tetapi, seperti inilah sikap Habakuk di akhir kitab:
“Namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” – Habakuk 3:18
Apa yang terjadi sehingga reaksi Habakuk berubah? Apa yang membuatnya akhirnya dapat berharap kepada Tuhan dengan keyakinan dan sukacita, meskipun keadaannya tidak berubah? Mari kita teliti bersama alasannya.
Berharap Seperti Habakuk

Jika kita membaca kitab yang pendek ini, ada tiga sikap Habakuk yang dapat kita tiru saat dia berharap kepada Tuhan.
1. Berharap Dengan Hati Tunduk Kepada Tuhan

Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku. – Habakuk 2:1
Menanti-nanti jawaban adalah salah satu perasaan yang tidak enak untuk dialami. Cemas, khawatir, tak sabar, tak yakin, berbagai hal dapat berkecamuk di hati kita.
Hal yang sama dialami oleh Habakuk. Dia menantikan jawaban Tuhan atas pertanyaan-pertanyaannya. Dia menggambarkan penantiannya seperti seorang yang sedang menunggu kedatangan. Dia membayangkan dirinya seperti berdiri berjaga-jaga di tempat pengintaian, dengan leher tegak berusaha melihat ke kejauhan. Apa kira-kira jawaban yang akan datang dari Tuhan?
Saat-saat menanti jawaban adalah saat kita dapat menjadi bimbang. Mudah sekali keraguan menyusup masuk ke dalam hati kita. Seringkali kita bahkan tidak yakin bahwa jawaban Tuhan akan datang dan memilih untuk mengandalkan diri sendiri.
Tetapi, Habakuk tidak pernah mempertanyakan apakah Tuhan akan menjawab. Dengan penuh keyakinan dia sabar menantikan jawaban Tuhan. Bukankah ini sikap hati yang patut kita contoh?
Habakuk sabar karena dia percaya kepada Tuhan. Hatinya tunduk akan kapan dan seperti apa jawaban yang akan datang. Dia tahu bahwa apapun jawaban Tuhan, pastilah yang terbaik. Mari kita belajar mempunyai hati yang tunduk seperti Habakuk.
2. Percaya Bahwa Tuhan Memegang Kendali

Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya. – Habakuk 2:3-4
Jika kita baca lebih lanjut, Tuhan berfirman bahwa orang Babel akan menyerang Israel. Tetapi, setelah itu Tuhan akan menghancurkan Babel karena kejahatannya. Jawaban Tuhan memperlihatkan bahwa Dia memegang kendali akan kejadian-kejadian di dunia.
Habakuk terus percaya, meskipun Tuhan memintanya untuk masih menanti. Bagaimana dengan kita? Saat Tuhan belum memberikan jawaban bagi pertanyaan kita, mari kita belajar untuk terus berharap dan percaya sepenuhnya kepada-Nya. Saat kita percaya bahwa Tuhanlah yang memegang kendali atas seluruh dunia, maka kita akan mantap berharap kepada-Nya.
3. Terus Mengandalkan Tuhan Dalam Segala Keadaan

Hati yang tunduk dan percaya bahwa Tuhan memegang kendali akan bermuara kepada sikap ketiga: mengandalkan Tuhan dalam segala keadaan. Sebuah sikap yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Terlebih bagi seseorang yang mempunyai kedudukan seperti nabi Habakuk, ini pasti tidak mudah.
Namun, sikap hati inilah yang dipilih oleh nabi Habakuk. Mari kita baca baik-baik apa yang dikatakannya di pasal 3:17-19.
“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan,
sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang,
namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.
Allah Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.”
Habakuk siap untuk mengandalkan Tuhan dalam situasi terburuk sekalipun. Bagaimana dengan kita? Saat masalah melanda, terkadang hati kita lebih banyak dikuasai oleh kekhawatiran. Kita lebih fokus memikirkan berbagai cara untuk keluar dari situasi sulit. Bahkan, tak jarang kita menganggap Tuhan hanya seperti jaring pengaman saja.
Tidak demikian dengan Habakuk. Dia sudah mengantisipasi masa-masa sulit yang akan datang, dan dia sudah mengambil keputusan untuk berserah kepada Tuhan. Tidak hanya itu, Habakuk juga menantikan Tuhan dengan hati penuh sukacita.
Mari kita belajar mengandalkan Tuhan seperti Habakuk, terlebih dalam masa-masa tersulit kehidupan kita.
Iman Seperti Habakuk

Iman Habakuk adalah iman yang ekstrem. Dia percaya sepenuhnya dan menanti-nantikan janji Tuhan dengan penuh sukacita. Habakuk tidak mencoba untuk mengontrol keadaan, sekecil apa pun itu. Dia menaruh pengharapannya kepada Tuhan saja. Habakuk memilih untuk tunduk kepada keinginan Tuhan, meskipun jawabannya belum tentu yang ia harapkan.
Ada sebuah kutipan terkenal yang bagus untuk kita renungkan. “Kesabaran bukanlah kemampuan untuk menunggu. Tetapi, kemampuan untuk menunggu dengan sikap yang baik.” Mari kita belajar untuk berharap seperti Habakuk. Kita akan melihat betapa Tuhan kita adalah Tuhan yang besar dan mengasihi kita!
–
Related Articles:
- “Saya Kecewa pada Tuhan”
- Hati Seperti Apa yang Tuhan Inginkan?
- Pasrah pada Keadaan atau Berserah kepada Tuhan?
- Pelajaran Berharga dari Pohon Ara yang Dikutuk
- Kobarkan Semangat Hidup: Raih Kekuatan di dalam Kelemahan
–
[adrotate banner=”11″]
Last modified: Dec 17
