Written by Sui Ching 10:45 am Devotionals, Biblical Talk, Heart & Feeling, Self Development, Spiritual Life

Hidup yang Dipimpin Iman, Bukan Perasaan, Bagaimana Caranya?

perasaan - gkdi

Gereja gkdi laguSuatu hari, Chuang-tzu, seorang filsuf Tiongkok, mengungkapkan perasaan kepada temannya ketika mereka berjalan di tepi sungai. “Bahagia sekali ikan-ikan itu di dalam air,” katanya. 

“Kamu bukan ikan,” kata temannya, “Bagaimana kamu tahu ikan-ikan itu bahagia atau tidak?”

Sama halnya dengan kita hari ini. Hanya karena apa yang kita rasakan nyata, tidak berarti perasaan kita selalu benar dan akurat. Kenyataannya bisa saja berbeda. 

Jadi, seperti apa hidup beriman yang Tuhan kehendaki dari kita?

Hidup dengan Iman, Bukan Hanya dengan Perasaan

perasaan - gkdi 1

Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. – Amsal 3:5

Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat. – 2 Korintus 5:7

Tuhan ingin kita tidak bergantung pada pengertian kita sendiri, tetapi bergantung kepada-Nya. Dia mau kita hidup oleh iman

Betapa menyedihkan hidup yang hanya bergantung pada perasaan semata. Perasaan ibarat ombak di lautan yang terlempar ke sana kemari, mengikuti ke mana angin bertiup. Sesaat Anda bersedih, sesaat kemudian bergembira. Satu waktu Anda semangat, di lain waktu Anda terpuruk.

Perasaan manusia tidak stabil dan mudah berubah. Hari ini Anda bersyukur atas kebaikan Tuhan yang menjawab keinginan Anda. Namun, ketika Tuhan belum menjawab doa Anda, Anda kecewa, tidak bersyukur, dan tidak bersemangat. 

Jadi, bagaimana mungkin kita mengandalkan sesuatu yang kerap berubah? Bukankah kita juga tidak mudah percaya kepada seseorang yang emosinya naik-turun? 

Amsal mengajarkan kita untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, bukan berdasarkan perasaan, karena perasaan kita mudah sekali berubah.

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. – Markus 12:30

Mungkin kita bertanya-tanya, “Manusia ‘kan punya perasaan, lantas bagaimana caranya kita tahu sampai batas mana perasaan boleh terlibat dalam hidup rohani? Apakah dalam perjalanan iman kita, kita tidak boleh pakai perasaan?”

Seimbangkan Iman dengan Perasaan

perasaan - gkdi 2

Ketika Perasaan Sejalan dengan Iman

Memang firman Tuhan berkata bahwa kita harus hidup oleh iman, bukan berdasarkan apa yang kita rasakan. Namun, kita perlu menyadari bahwa perasaan juga penting. Memang kita hidup dengan iman, tapi iman yang bersinergi dengan perasaan yang positif akan memberikan hasil maksimal. 

Contohnya, dalam perihal memberi. Kita dapat memberi dengan dua macam perasaan. Pertama, dengan terpaksa, sedih, tidak rela, dan tidak dengan sukacita. Namun, kita juga bisa memberi dengan bahagia dan sepenuh hati. Oleh karenanya, kita perlu memberi dengan sukacita dan tulus, bukan semata-mata karena perintah Tuhan saja. 

Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. – 2 Korintus 9:7

Contoh lainnya, rasa iba. Belas kasihan atau compassion-lah yang membuat Yesus mengutus kedua belas murid-Nya dalam misi. Hari ini, kita bisa mengenal Tuhan dan diselamatkan, semua karena belas kasihan dan kasih karunia-Nya (Efesus 2:8). 

Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. – Matius 9:36

Ketika Perasaan Tak Sejalan dengan Iman 

Di sisi lain, perasaan juga dapat membuat kita tidak hidup dalam iman, seperti membuat keputusan-keputusan yang salah, atau yang tidak sesuai kehendak Tuhan. Misalnya:

Anda beriman bahwa kelak Anda akan menemukan pasangan hidup yang berasal dari Tuhan. Namun, ketika Anda berkenalan dengan seorang yang tidak percaya Tuhan, Anda berpikir, “Saya dipanggil untuk ini. Alkitab mengajarkan bahwa saya tidak boleh menikahi seorang yang tidak percaya, TETAPI perasaan saya mengatakan, dia adalah orang yang tepat untuk saya!”

Atau, “Saya ingin memaafkan orang ini, untuk hal-hal buruk yang pernah dia lakukan terhadap saya, TETAPI perasaan saya tidak bisa dibohongi. Meskipun Alkitab mengajarkan saya untuk memaafkan orang yang bersalah, saya masih sakit hati dan kecewa. Saya tidak bisa mengampuninya.”

Sering kali kita juga membiarkan perasaan mendikte keyakinan kita terhadap Tuhan, alih-alih sebaliknya. Contoh: 

“Tidak ada damai sejahtera ketika saya belajar firman Tuhan, karena rasanya tidak nyaman. Saya tidak mau lanjut dan tidak mau lakukan firman-Nya.”

Atau, “Tuhan pasti mengerti perasaan saya, bahwa saat ini saya belum bisa bertobat. Nanti saja saya lakukan, ketika hati saya siap.” Padahal, firman Tuhan jelas menyatakan, jika kita sudah mengetahui kebenaran, kita perlu segera bertobat. Jangan keraskan hati (Ibrani 3:15), dan jangan menunda, karena keselamatan adalah hal yang sangat penting. 

Sejauh Apa Perasaan Boleh Terlibat dalam Hidup Iman Kita?

perasaan - gkdi 3

Perasaan bisa terlibat dalam hidup kita jika dan hanya jika perasaan kita sejalan dengan iman atau firman Tuhan. Kalau karenanya kita malah berhenti melakukan kehendak Tuhan atau tidak bertumbuh, itu adalah perasaan yang salah.

Waspadalah, perasaan kita dapat menjadi sasaran empuk iblis yang ingin menipu kita, sehingga kita tidak lagi hidup oleh iman. Inilah yang terjadi ketika iblis menipu Hawa, sehingga ia merasa bahwa buah pohon itu kelihatan baik, sedap, dan menarik karena memberi pengertian (Kejadian 3:6).

Perasaan yang tidak benar, yang tidak sesuai firman, janganlah kita ikuti. Misalnya, karena merasa tidak mood, lagi tidak ingin, lantas kita tidak melakukan saat teduh. Ini adalah perasaan yang salah, jadi kita perlu menyangkal diri. Tidak hanya salah, perasaan juga bisa menyesatkan, bahkan menjauhkan kita dari Tuhan. 

Panggilan Tuhan untuk kita adalah hidup yang berdasarkan iman, bukan semata-mata perasaan. Artinya Anda dan saya harus memenuhi melakukan apa yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Jangan menjadikan apa yang kita rasakan sebagai ‘kompas’ atau penuntun hidup kita.

Siapa percaya kepada hatinya sendiri adalah orang bebal, tetapi siapa berlaku dengan bijak akan selamat. – Amsal 28:26

Jadi, mulai sekarang, mari kita hidup dengan iman, bukan hanya dengan perasaan, yang mudah sekali berubah dan bisa salah. Dengan begitu, kita akan menjadi lebih bijak dan berkenan di mata Tuhan. Good luck!

Related Articles:

Gereja GKDI terdapat di 35 kota di Indonesia. Jika Anda ingin mengikuti belajar Alkitab secara personal (Personal Bible Sharing), Diskusi Alkitab, membutuhkan bantuan konseling, ingin mengikuti ibadah minggu atau kegiatan gereja lainnya, silahkan mengisi form di bawah ini.

[wpforms id=”11767″]

Jika Anda memiliki pertanyaan atau membutuhkan informasi lainnya, silahkan menghubungi kami melalui WhatsApp 0821 2285 8686 berikut.

Dan, temukan lebih banyak content menarik & menginspirasi melalui sosial media kami:

Website: https://gkdi.org
Facebook: https://www.facebook.com/GKDIOfficial/
Instagram: https://www.instagram.com/gkdiofficial/
Blog: https://gkdi.org/blog/
Youtube: https://bit.ly/yt-gkdi
Whatsapp: https://cutt.ly/gkdi-wa
TikTok:https://www.tiktok.com/@gkdiofficial

Video Musik:

(Visited 2,519 times, 1 visits today)

Last modified: Sep 15

Close