Setiap orang pasti pernah menghadapi krisis dalam hidup. Entah itu krisis rohani, krisis ekonomi, krisis kesehatan, krisis kepercayaan diri, dan banyak lagi. Orang Kristen yang takut akan Tuhan dan setia melakukan firman-Nya pun tidak luput dari krisis. Bahkan, mereka menghadapi lebih banyak krisis karena harus melawan godaan dosa.
Ada dua kemungkinan yang akan terjadi saat krisis menimpa seseorang. Pertama, dia menyerah, terpuruk, dan menyalahkan orang lain. Kedua, dia bangkit dan menjadi pribadi yang lebih kuat.
Saya percaya kita lebih ingin menjadi sosok kedua. Namun, saat terjebak dalam masalah, seringkali kita kesulitan melihat situasi keseluruhan dari sudut pandang yang lebih tinggi.
Suatu siang usai ibadah, saya mengobrol dengan seorang bapak. Dia mengeluhkan tempat kerjanya yang akan ditutup karena terus merugi. “Saya mau numpang di rumah orang tua saja, asal bisa makan dan minum. Tak apa tidak ikut ibadah Minggu, karena orang tua tidak senang saya pergi ke gereja,” ungkapnya tentang rencana hidupnya.
Saya bertanya kenapa dia tidak buka usaha sendiri, atau menjalankan ojek online, atau minta tolong dicarikan pekerjaan oleh teman jemaat yang punya usaha. Bapak ini menolak dengan alasan sudah lima belas tahun jadi manajer. Dia tidak siap dan malu kembali jadi bawahan, yang kerjanya diperintah-perintah. Dia menolak ‘turun takhta’ sebentar supaya bisa menafkahi diri. Secara tidak langsung, dia menyalahkan Tuhan yang membuatnya mengalami krisis ekonomi dan kepercayaan diri, sehingga menolak berusaha.
Kawan, jangan sampai kita sebagai orang Kristen punya mental lebih payah daripada orang dunia. Kita sering membaca berita tentang orang-orang dunia—yang notabene tidak percaya Yesus—menghalalkan segala cara untuk bangkit dari krisis. Mereka mau berjuang, berjerih lelah, jatuh-bangun, dan tidak malu merintis usaha dari nol.
Jika kita memilih tetap terpuruk, mengasihani diri, menyalahkan Tuhan atau kondisi, berarti kita tidak betul-betul mengenal Allah. Sebab, orang yang mengenal Allah akan bertahan dan berusaha bangkit dari keterpurukan. Krisis mestinya membuat orang percaya menjadi pribadi lebih kuat, lebih bergantung kepada Tuhan, dan lebih beriman.
Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.” (Matius 16:24-27)
Tuhan tidak pernah menjanjikan kehidupan yang lebih enak saat kita menjadi pengikut-Nya. Menyangkal diri dan memikul salib adalah bagian dari kesediaan mengikut Kristus. Salib adalah lambang penderitaan, kesusahan, dan segala sesuatu yang tidak enak bagi daging—termasuk di dalamnya: krisis.
Ayub, Gideon, dan Paulus adalah orang-orang yang pernah mengalami krisis dan berhasil menjadi pemenang. Mereka pun manusia biasa, sama seperti kita.
Mari belajar dari iman dan perjuangan mereka yang luar biasa untuk bangkit dari krisis.
1. Ayub: Tetap memuji Tuhan saat segala hal baik yang dimilikinya diambil iblis (Ayb 1-2)
Apa yang dialami Ayub adalah contoh ekstrem krisis hidup. Dalam satu hari, Ayub kehilangan segalanya. Kesepuluh anaknya tewas tertimpa reruntuhan rumah akibat angin ribut. Sebagian ternaknya disambar api dari langit, sebagian lagi dirampok, para pelayannya dibunuh. Tak hanya itu, Ayub terkena penyakit barah kulit di sekujur tubuhnya. Karena tahu Ayub saleh dan takut kepada-Nya, Tuhan berani terima tantangan iblis yang ingin mengambil hartanya, kesehatannya, dan semua anaknya.
Alangkah sengsaranya situasi Ayub. Dia tidak lagi bisa mengobrol dan bertemu anak-anaknya. Tidak nyaman melakukan berbagai aktivitas akibat penyakitnya. Biasanya jadi sosok yang didekati orang-orang—mengingat Ayub orang kaya dan terpandang—kini menjadi sosok yang dikucilkan. Hebatnya, Ayub tetap sujud menyembah dan memuji Tuhan, tidak berbuat dosa, dan tidak menuduh Tuhan berbuat yang kurang patut.
Tak perlu kita membayangkan atau mengalami hal-hal seekstrem Ayub untuk paham tentang krisis. Hal-hal seperti kehilangan pekerjaan, musibah kemalingan, gagal ujian, putus cinta, atau ditinggalkan selama-lamanya oleh orang terkasih dapat melemahkan iman kita.
Kuncinya adalah bagaimana menjalani semua itu dengan berserah penuh dan memercayai penyertaan Tuhan. Tanpa rasa percaya, mudah bagi kita untuk marah dan tergoda mengambil jalan pintas atau destruktif alih. Pada akhirnya, masalah kita justru mengganda dan kita semakin jauh dari Allah.
Rahasia Ayub yang memampukannya melalui krisis hidup adalah dia saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.
2. Gideon: Tetap mengejar musuh meski tidak dapat bantuan logistik (Hak 8:4-12)
Logistik adalah salah satu syarat penting untuk memenangkan perang atau pertandingan jangka panjang, merintis usaha, atau membangun rumah. Logistik bisa berupa uang, makanan, tenaga, atau peralatan yang memungkinkan kita berjuang dalam kondisi baik dan menguntungkan.
Gideon dan tiga ratus orang pengikutnya telah menewaskan ribuan prajurit Midian dalam peperangan. Namun, tugas Gideon belum selesai karena kedua raja Midian beserta sisa pasukan mereka melarikan diri. Kendati logistik makanan dan minuman mereka habis, Gideon bertekad tetap mengejar. Sebagai pemimpin pasukan, dia memohon bantuan logistik dari para pemuka Israel Sukot dan Pnuel. Permohonannya ditolak, karena mereka tidak sudi memberikan roti kepada orang-orang yang belum dapat hasil. “Tangkap dulu raja-raja itu, baru kami kasih roti,” kurang lebih begitu omongan langsungnya.
Namun, Gideon tidak kenal menyerah. Dalam kondisi lelah dan kelaparan, dia dan pasukannya tetap berjuang dan akhirnya berhasil membinasakan semua musuh.
Kalau saat ini Anda enggan bangkit lagi, entah untuk buka usaha, melamar kerja, atau memulai sesuatu yang baru, dengan alasan tidak punya logistik atau tidak punya apa-apa lagi, Anda keliru. Anda masih punya modal yaitu tubuh Anda, pengalaman Anda, dan akal budi yang diberikan Tuhan. Gunakan itu untuk mencari solusi.
Rahasia Gideon dan orang-orangnya berhasil melalui krisis logistik adalah tidak menyerah dan terus berjuang mencapai tujuan. Tuhan menghargai dan membuat berhasil orang yang gigih berusaha.
3. Paulus: Tetap setia melayani Kristus sekali pun mengalami berbagai krisis (2 Kor 11:23-33)
Alangkah manusiawi ketika kita melakukan hal benar sesuai firman Tuhan, kita berharap akan diganjar sesuatu yang baik pula. Kenyataannya, itu tidak selalu terjadi.
Rasul Paulus sangat giat melayani Tuhan dan jemaat di berbagai kota dan negara. Di Antiokhia, untuk kali pertama murid-murid Yesus disebut Kristen, berkat perjuangan Paulus dan rekannya Barnabas selama setahun. Namun, jangan bayangkan Paulus selalu mengalami hal-hal enak saat melayani. Berkali-kali dia disiksa, bahkan nyaris tewas. Paulus tahu rasanya kelaparan, kesakitan, kehausan, telanjang, tidak punya uang, kedinginan, dan kurang tidur.
Mengalami semua itu, Paulus bisa saja menyerah dan memilih berhenti jadi rasul. Lebih baik pulang kampung dan hidup nyaman. Namun, Paulus tetap fokus kepada Tuhan, dan selalu meminta Tuhan menguatkan dan menyertainya dalam menanggung berbagai kesulitan hidup. Paulus bahkan tidak menuntut hak menikmati kesenangan duniawi atas jasanya mendirikan banyak komunitas jemaat. Dia tetap bekerja dengan tangan sendiri untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
1 Korintus 10:13 berkata: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”
Mari meneladani Paulus sehingga kita tidak cengeng atau manja. Jadikan krisis sebagai sarana menguatkan diri. Percayalah, Tuhan tidak mungkin memberi pencobaan melebihi kekuatan kita menanggungnya.
Bangkit dari krisis: fokus pada Tuhan dan solusi
Zaman dahulu, zaman now, atau zaman berikutnya, krisis selalu ada dalam berbagai bentuk. Tidak perlu gentar. Jangan berfokus pada kesukaran atau deritanya, tapi pusatkan diri Anda kepada Tuhan dan kepada solusi.
Krisis bisa mendatangkan banyak keuntungan secara jasmani dan rohani. Krisis dapat mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan positif. Pandanglah krisis sebagai cara Tuhan membantu kita keluar dari zona nyaman dan menjadi pribadi tangguh.
Sebagai penutup, berikut tiga hal untuk menjadi sosok yang tahan krisis:
- Saleh, jujur, dan menjauhi kejahatan seperti Ayub.
- Tidak pernah menyerah dan terus berusaha seperti Gideon.
- Fokus kepada Tuhan, selalu memohon Tuhan menguatkan dan menyertai seperti Paulus.
Tuhan memberkati perjuangan Anda untuk bangkit dari krisis!
Artikel ini diedit dari juara kedua (Richard Tri Gunadi Raharjo) dalam “GKDI Writers Day 2018“.
* Gereja GKDI saat ini terdapat di 35 kota. Kami memiliki kegiatan Pendalaman Alkitab di setiap wilayah, jika Anda membutuhkan informasi ataupun berkeinginan untuk terlibat didalamnya, hubungi kami di contact Gereja GKDI Official:WhatsApp 0821 2285 8686 atau Facebook / Instagram GKDI Official
Artikel terkait: Panduan Doa Kristen Menurut Perikop ‘Doa Bapa Kami’
Video inspirasi:
Last modified: Jul 12